Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta
17 March 2009 www.indonesia-monitor.com
SALAH satu misi pemberdayaan perempuan adalah meningkatkan partisipasi perempuan dalam jabatan publik dan politik di dalam masyarakat. Sebagai contoh, penambahan jumlah politisi perempuan di parlemen.
'; writethis(jsval);//-->
17 March 2009 www.indonesia-monitor.com
SALAH satu misi pemberdayaan perempuan adalah meningkatkan partisipasi perempuan dalam jabatan publik dan politik di dalam masyarakat. Sebagai contoh, penambahan jumlah politisi perempuan di parlemen.
Pada Pemilu 2004, jumlah politisi perempuan di DPR berkisar 11,6 persen. Jumlah tersebut akan bertambah seiring dengan pengesahan UU Pemilu No. 10 Tahun 2008 yang mengatakan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.
Undang-undang politik itu makin menjamin peluang bagi peningkatan keterwakilan perempuan di arena politik. Namun di sisi lain menjadi tantangan bagi perempuan untuk meyakinkan masyarakat maupun partai politik, apakah mereka layak berkompetisi dengan kaum laki-laki.
Karena itu tidak heran, dalam sistem pencalegan Pemilu 2009, mayoritas partai menggunakan zipper system atau zig-zag. Nuansa Affirmative Action dalam UU tersebut dapat dirasakan. Sebaliknya, jika tidak ada affirmative action pada Pemilu 2009, bisa jadi, jumlah wakil perempuan di DPR akan sama pada tahun 2004. Selain itu, Affirmative Action diperlukan untuk mengejar ketertinggalan perempuan dari laki-laki. Masuknya perempuan ke parlemen diharapkan mampu memperhatikan permasalahan tentang perempuan. Seperti meningkatkan mutu pendidikan atau masalah kesehatan. Kendati begitu, perempuan tidak mesti mengurusi masalah diri mereka saja. Perempuan juga dapat diberdayakan pada masalah kebangsaan. Seperti masalah krisis nasionalisme, bagaimana mencegah dampak buruk globalisasi dalam pembangunan nasional, atau yang mengancam SDM kita dalam bentuk HIV AIDS, narkoba, pornografi, dan seterusnya. Namun, tentu saja, harapan itu akan terwujud jika sumber daya perempuan di DPR lebih baik dibandingkan anggota dewan perempuan pada periode sebelumnya. Seperti kita ketahui, saat ini, banyak anggota dewan yang tersandung dan ditangkap karena berbagai kasus. Selain itu, banyak anggota dewan yang tidak memberikan contoh baik kepada masyarakat. Bahkan, jelang Pemilu 2009, kita sering melihat di televisi, banyak anggota dewan yang tidak mengikuti sidang alias membolos. Di sisi lain, diperlukannya Affirmative Action, lantaran perempuan Indonesia dalam indeks pembangunan manusia (IPM) tidak begitu baik. Begitu juga jika dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN. Peringkat IPM perempuan Indonesia masih rendah dan hampir setara dengan Kamboja dan Myanmar yang berada di urutan paling bawah. Bagi kaum perempuan untuk dapat terpilih menjadi anggota DPR pada Pemilu 2009 tidak mudah karena harus memenuhi beberapa persyaratan seperti motivasi atau semangat juang tinggi, terpilih parpol sebagai kandidat, dipilih oleh masyarakat pemilih, dan bekal dana yang memadai. Untuk itu perempuan harus mengembangkan kualitas dan kapasitas dirinya baik rasa percaya diri maupun wawasan pengetahuan. Selain itu perlu peningkatan cakrawala seni berpolitik seperti membentuk opini, memformulasikan gagasan dan pemikiran dan menyampaikan ide dengan tegas. Salah satu kunci keberhasilan perjuangan politik kaum perempuan adalah komitmen, baik selaku individu maupun sebagai kelompok (organisasi) dan didukung oleh keikhlasan kaum lakilaki menerima perempuan sebagai mitra dalam kancah politik. Ini tidak berarti perempuan meminta belas kasihan maupun menuntut atau mengingatkan kaum laki-laki akan prinsip kesetaraan hak. Karena itu, tugas partai politik harus memperhatikan kualitas caleg perempuan yang bakal bertarung pada Pemilu 2009. Jangan asal comot atau hanya memenuhi kuota 30 persen saja. Untuk memenuhi standar kualitas yang masyarakat harapkan, tentu diperlukan sejumlah treatment. Seperti caleg perempuan harus terlebih dahulu melakukan diskursus tentang permasalahan yang bakal ia hadapi jika kelak terpilih sebagai anggota dewan. Misal, seorang ibu rumah tangga atau artis yang belakangan ini banyak masuk ke dunia politik. Jika mereka memang siap menjadi seorang anggota dewan maka mereka harus mampu meningkatkan kemampuannya di salah satu bidang yang bakal ia geluti. Saat ini, keterlibatan perempuan dalam jabatan publik dapat dilihat dari komposisi perempuan dan laki-laki pegawai negeri sipil (PNS) yang menduduki jabatan eselon. Menurut data BKN Juni 2008, dari sebanyak 246.993 orang yang menduduki jabatan eselon di Indonesia, hanya 21,4 persen dijabat oleh perempuan, selebihnya 78,6 persen dijabat laki-laki. Semakin tinggi jenjang eselon, semakin senjang perbedaan komposisi antara laki-laki dan perempuan. Demikian juga peran perempuan pada lembaga yudikatif juga masih rendah, yakni 20 persen dari hakim yang ada dijabat oleh perempuan dan 18 persen sebagai hakim agung pada tahun 2008. Dari 6.177 jaksa di seluruh Indonesia pada tahun yang sama, hanya 26,78 persen dijabat oleh perempuan, selebihnya 73,32 persen dijabat laki-laki. * Disarikan Thantri Kesumandari |
Komentar
Posting Komentar
SITUS POLITIK INDONESIA