Langsung ke konten utama

Mengapa Partisipasi dan Peran Politik Perempuan Rendah


Rudy 
Handoko


oleh: Rudy Handoko
Kanal: Opini
 
Dari jumlah penduduk Kalimantan Barat sebesar 4.010.338 jiwa, jumlah perempuan hampir 50% atau 1.951.485 jiwa (statistik 2005). Kaum perempuan merupakan potensi yang besar dalam pembangunan kehidupan masyarakat di Kalimantan Barat. Namun jumlah tersebut belum diikuti dengan kualitas SDM yang baik dibandingkan laki-laki, sehingga kaum perempuan Kalimantan Barat umumnya tidak atau kurang dapat berperan dalam kehidupan publik seperti kehidupan politik.

Kenyataan ini menunjukan bahwa kaum perempuan di Kalimantan Barat masih dalam kondisi yang terdiskriminasi. Diskriminasi perempuan di Kalimantan Barat sangat jelas dilihat dari beberapa indikator seperti Gender Development Indeks (GDI) dan Gender Empowerments Measure (GEM).
Beberapa faktor penyebab diskriminasi terhadap kaum perempuan antara lain disebabkan oleh nilai-nilai dan budaya patriarkhi, rendahnya kapasitas perempuan, kebijakan hukum, peraturan dan sistem yang diskriminatif serta kebijakan-program yang diskriminatif.
Kondisi di atas, tentunya menuntut kita untuk melakukan upaya-upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kualitas hidup perempuan di berbagai bidang pembangunan sosial politik, pendidikan, ekonomi, kesehatan dan budaya.
Dalam tulisan ini akan membicarakan tentang persoalan partisipasi dan peran politik perempuan dalam konstelasi Pemilu Kepala Daerah yang tentunya masih jadi isu yang menarik.
Perbincangan tentang hal ini juga pasti terkait dengan persoalan kesetaraan gender secara global, yang sampai saat ini memang masih menjadi salah satu wacana yang hangat. Sehingga ketika berbincang tentang kesetaraan gender di segala bidang kehidupan baik sosial politik, pendidikan, ekonomi, kesehatan dan budaya, maka dapat kita lihat, berbagai kegiatan diskusi, seminar, pelatihan dan sosialisasi masih gencar dilakukan dalam rangka menggerakkan gerbong mainstream wacana kesetaraan gender tersebut, terutama agar segala kebijakan dan kegiatan baik dalam pemerintahan dan masyarakat memiliki sensitifitas gender dan tidak bias gender. Gerakan afirmatif ini lebih dikenal dengan istilah pengarus-utamaan gender (PUG).
Berbicara gender, perlu didefinisikan agar jelas pemilahannya. Seperti dengan istilah seks. Jika seks adalah perbedaan organ biologis laki-laki dan perempuan khususnya pada bagian reproduksi. Gender adalah Perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial. Karena itu, seks adalah seuatu yang kodrati dan tidak bias dipertukarkan sedangkan gender lebih bersifat konstruk sosial yang lahir dari proses budaya dan menyejarah.
Terkait dengan masalah kesetaraan di segala bidang tersebut, secara teoritis, masih kentalnya budaya patriarkhi dan interpretasi doktrin agama yang misoginis menyebabkan ketidakadilan gender terutama terhadap kaum perempuan terjadi. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender seperti subordinasi terhadap perempuan, kekerasan baik fisik maupun non-fisik, masih menggejalanya budaya yang menanamkan stereotipe bahwa perempuan adalah makhluk second class yang posisinya berada dibawah laki-laki, dan kesulitan gerak langkah perempuan karena adanya beban ganda yang dipikulnya menjadi realita diseluruh pelosok dunia, begitupun Indonesia.
Dalam dunia internasional, gerakan untuk memperjuangkan kesetaraan gender khususnya untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan ditandai dengan adanya Convention on the Elimination of All Forms of Discriminations Against Women (CEDAW) yang kemudian diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan. Pada prinsipnya konvensi CEDAW ini mengandung prinsip-prinsip Non Diskriminatif: Kesetaraan dan Keadilan antara perempuan–laki-laki, Persamaan Substantif: Realisasi hak-hak perempuan yakni bahwa perempuan punya akses yang sama dan mendapat manfaat yang sama, dan Kewajiban Negara: Menjamin hak asasi perempuan.
Sedangkan dalam Beijing Platform for Actions (tahun 1995) tentang 12 area kritis yang harus dientaskan dari perempuan diantaranya adalah aspek perempuan dan pengambilan keputusan dan hak-hak asasi perempuan.
Dalam RPJMN 2004-2009 Bab 12, Indonesia memandang perlu untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan peran perempuan serta kesejahteraan dan perlindungan dalam kerangka dan agenda besar guna menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis.
Konteks Indonesia, permasalahan-permasalahan yang menimpa kaum perempuan seperti di bidang politik dengan rendahnya peran dan partisipasi politik perempuan, ditandai dengan rendahnya keterwakilan perempuan dan akses politik kaum perempuan. Semua merupakan akibat dari kuatnya budaya patriakhi yang menyebabkan adanya bias gender dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Dari diskusi-diskusi yang dibicarakan baik oleh institusi Negara, LSM dan institusi-institusi lain yang intens dengan perjuangan anti-diskriminasi terhadap perempuan, sebenarnya negeri ini telah mempunyai regulasi yang mengatur tentang hak-hak perempuan, seperti UU Anti Diskriminasi, UU KDRT, UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM, dsb. Namun itu belumlah cukup menjadi regulasi yang komprehensif apalagi tidak ditunjang dengan implementasi yang serius untuk mendorong proses keadilan dan kesetaraan gender di setiap bidang.
Di bidang politik, dalam suatu sosialisasi yang dilaksanakan oleh BAPORA-PP Kalbar tentang sosialisasi peran politik perempuan, seorang peserta pernah menyatakan pengalamannya di partai, bahwa pemilih perempuan ternyata juga banyak yang tidak mempergunakan hak pilihnya padahal 57 persen pemilih adalah perempuan. Perempuan juga dihimbau agar tahu haknya. Kemudian dia juga menilai ada kesalahan pada perempuan yang telah terjun di dunia politik, karena mereka terkadang juga tidak memberikan kesempatan bagi perempuan-perempuan lainnya untuk belajar.
Terkait partisipasi dan peran politik perempuan dalam konteks politik lokal, pertanyaanya adalah mengapa partisipasi dan peran politik perempuan seakan terabaikan, dan mengapa sedikit sekali perempuan yang tampil ke depan untuk maju bersaing menjadi pemimpin?
Suatu analisis sederhananya adalah…bahwa sebagai akibat dampak budaya patriakhi yang juga kentara terjadi di dunia politik kita, maka seringkali muncul persepsi, bahwa dunia politik identik dengan dunia kekuasaan yang terkesan maskulin atau identik dengan dunia kaum laki-laki, sehingga kaum perempuan hanya kebagian peran domestiknya saja. Sedikit sekali ada perempuan yang berani tampil beda untuk terjun ke dunia politik dan muncul ke permukaan sebagai pemimpin.
Masalah lainnya adalah secara internal kepartaian, meskipun partai politik adalah instrumen politik yang diharapkan mengembangkan demokratisasi, tetapi dalam rekrutmen partai politikpun, ternyata nuansa patriarkhi ini masih menguat, sehingga amat menyulitkan kaum perempuan untuk berada pada posisi strategis dan pengambil kebijakan pada sebuah partai. Kalaupun ada tapi peran mereka masih tidak bisa membantu untuk mengurangi dominasi patriarkhi yang terjadi. Lebih banyak perempuan hanya diberi porsi mengurus posisi keperempuanan saja atau yang identik dengan dunia keperempuanan, sehingga dalam mekanisme selanjutnya maka akan menyulitkan bagi perempuan untuk tampil sebagai kandidat pemimpin.
Padahal dalam sistem politik kita saat ini, partai politik berperan penting sebagai instrumen dasar untuk menuju gelanggang kekuasaan politik. Di dalam partai politiklah terjadi rekrutmen dan seleksi politik untuk maju menjadi pemimpin. Logikanya, jika kaum perempuan sudah sangat minim berperan dalam dunia politik seperti ini, maka jenjang untuk memegang jabatan politik seperti maju dalam Pemilu Kepala Daerah akan sulit dilakukan.
Persoalan berikutnya adalah kemampuan secara finansial, juga sangat sedikit perempuan yang mempunyai kemandirian finansial sehingga mampu maju ke gelanggang dunia politik praktis seperti untuk maju menjadi pemimpin suatu daerah, yang tentunya memerlukan ongkos politik yang tidak sedikit.
Akhirnya, sampai saat ini partisipasi dan peran politik perempuan masih terlihat rendah. U
ntuk konteks pemimpin daerah, di Indonsia ini kita baru melihat ada satu gubernur perempuan dan empat bupati perempuan. Sampai saat ini kita masih menunggu di Kalbar ada perempuan yang berani maju sebagai pemimpin dan meretas kebekuan patriakhi politik.
Kemudian, kita juga menunggu adanya perubahan mendasar pada pola rekrutmen, penempatan dan seleksi politik di dalam partai politik, agar mereka secara demokratis dan afirmatif memposisikan perempuan pada posisi yang strategis, sesuai kapabilitas yang dimiliki. Sehingga kehadiran kaum perempuan di dunia politik tidak hanya sekedar menjadi pemanis dan pelengkap penderita.
Dan...Selanjutnya, kita segenap elemen masyarakat seharusnya selalu mendorong pengarus-utamaan gender (PUG) di segala bidang dan mendorong pula adanya perubahan sosial kultural menuju peradaban yang menghargai dan menghormati kesetaraan. Semoga!
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=12054

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Siapakah Sesungguhnya Inisial EGM alias Elya G Muskitta...?

Sosok EGM atau Elya G Muskitta akhir-akhir ini disinyalir terkait dengan ramainya polemik seputar beredarnya berita video skandal seks yang melibtkan oknum DPR RI. Apa hubungan Elya G Muskitta dengan hebohnya berita soal video skandal seks oknum DPR ini..?Apakah Elya Punya Motif Politik…? 

Ingin Lebih Dekat Dengan Warga Binaan, Babinsa Koramil 0827/21 Ra'as Gelar Komsos

F- Untuk membangun konsep diri serta memupuk hubungan dengan orang lain diperlukan komunikasi sosial dengan anggota masyarakat. Demikian juga halnya untuk mempererat tali silaturahim dan kerja sama yang baik dalam rangka mendukung tugas pokok Babinsa serta terwujudnya Kemanunggalan TNI dengan rakyat. Babinsa Koramil 0827/21 Ra'as Kopka Edy Purnomo secara rutin dan berkesinambungan melaksanakan Komunikasi Sosial (Komsos) dengan warga masyarakat wilayah binaan, di Dusun Tengah Desa Guwa Guwa Kecamatan Ra'as Kabupaten Sumenep. Jum'at (24-5-2019). Pelaksanaan komunikasi sosial ini merupakan tugas rutin yang dilaksanakan oleh Babinsa untuk mengetahui perkembangan situasi wilayah binaan sekaligus untuk mempererat hubungan antara Babinsa dengan warga binaan. Komunikasi sosial merupakan salah satu metode Binter TNI AD yang dapat dilaksanakan secara teratur untuk mencapai tujuan komunikasi sosial sesuai dengan yang diharapkan. Melalui komunikasi ini, Babinsa harus dapat memp

Di Madura, Kiyai Poros Tengah Minta NU Netral

SITUSPOLITIK, SUMENEP- Fungsionaris Forum Kiyai Poros Tengah (FKPT) Sumenep meminta ormas Nahdlatul Ulama ( NU) tetap menjaga netralitas dan sebaiknya lebih bagus mengurus tugas utamanya seperti mengurus pesantren, umat dan dakwah.