WAJAH panggung politik kita tidak banyak berubah hingga hari ini. Penuh
kepura-puraan dan akal-akalan, gampang berubah sesuai arah angin, serta
sangat takut kehilangan muka. Singkatnya: politik bunglon.
Itulah yang tecermin dari sikap koalisi partai politik pendukung
pemerintah melalui fraksi mereka di DPR terkait dengan penaikan harga
bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Mereka yang tadinya mendukung
penaikan harga BBM, di saat-saat terakhir seperti menolak kebijakan itu.
Kita sebut 'seperti menolak' karena pada hakikatnya mereka tidak
sungguh-sungguh menolak penaikan harga BBM. Fraksi Partai Golkar, PKS,
PKB, PAN, dan PPP dengan retorika berapi-api atas nama kepentingan
rakyat memang menyatakan menolak penaikan harga BBM. Akan tetapi, itu
cuma verbalisme karena secara substansial mereka menyetujui adanya
tambahan ayat dalam Pasal 7 ayat 6 dalam Undang-Undang APBN 2012
sebagaimana diusulkan pemerintah.
Pasal 7 ayat 6 undang-undang tersebut menyatakan bahwa harga jual eceran
BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan. Pasal inilah yang sejak awal
dipertahankan Fraksi PDIP, Gerindra, dan Hanura sejak usul penaikan
harga BBM bersubsidi digulirkan pemerintah.
Pemerintah meminta DPR mengubah ayat tersebut dengan memberikan
kewenangan kepada pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM bila harga
rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesia crude oil price/ICP) naik
atau turun dari asumsi dalam APBN-P 2012 yang sebesar US$105 per barel.
Supaya kesan penolakan penaikan harga BBM itu masih terasa, padahal cuma
berpura-pura, setiap partai koalisi lalu mematok angka persentase
sebagai ambang batas kapan harga BBM bisa dinaikkan.
Fraksi Partai Golkar mengusulkan penaikan 15% (atau ICP di US$120,75 per
barel) dalam kurun 6 bulan, PAN mengusulkan 15% dalam 30 hari. Fraksi
PKS mengusulkan 20% (ICP di US$126 per barel) dalam 90 hari, PKB
mengusulkan 17,5% (ICP di US$123,38 per barel) dalam 30 hari dan PPP
mengusulkan 10% (ICP di US$115,5 per barel) dalam 30 hari. Angkanya
berbeda-beda, tapi substansinya sama bahwa partai pendukung pemerintah,
yaitu Golkar, PAN, PKS, PKB, dan PPP setuju harga BBM dinaikkan.
Bandingkanlah semua angka itu dengan Demokrat yang jelas-jelas propenaikan harga BBM yang mengusulkan 5% dalam waktu 30 hari.
Politik bunglon itu semakin mencolok karena besaran persentase dan kapan
waktu penaikan harga BBM itu bisa mulur-mungkret setelah dinegosiasikan
lewat lobi-lobi. Jadi, persentase penaikan harga BBM itu jelas tidak
berbasiskan analisis matang.
Rata-rata ICP atau harga minyak mentah selama 2 bulan pertama tahun ini
mencapai US$119 per barel. Tren harga minyak memang terus naik. Jadi,
partai-partai koalisi sebenarnya hanya buying time, menunda waktu saja,
supaya tampak memihak rakyat. Padahal, semua itu cuma politik bunglon
agar tidak kehilangan muka.
Begitulah, masalah penaikan harga BBM memberi pelajaran berharga bagi
publik untuk berkesimpulan bahwa semua partai koalisi, semua partai yang
propemerintah, merupakan partai yang penuh kepura-puraan. (metrotvnews.com)
3/related/default
SITUS POLITIK INDONESIA