SBY menggerakan operasi sospol gaya Soeharto untuk melanggengkan kekuasaan. Sembilan jenderal direkrut sebagai operator lapangan.
MALAM baru beranjak ketika seorang aparat keamanan berpakaian preman mampir ke sebuah kedai minuman di pojok Jakarta, beberapa bulan lalu. “Ada mie instan?” tanyanya, membuka pembicaraan.
“Ada, Pak. Goreng apa rebus?”
“Rebus, pakai telor ya.”
Sambil menunggu mie rebus pesanannya, pria berjaket hitam dan bercelana jeans itu menyalakan sebatas rokok. Sesekali dia mengintip ke belakang, penasaran karena mie rebus pesanannya tak kunjung dihidangkan.
“Kok lama amat, emang masak pakai apaan,” cerocosnya, ketika mie instan pesanannya tiba.
“Pakai kayu, Pak.”
“Kok pakai kayu?”
“Mau pakai minyak tanah, nggak ada. Kalau pun ada sekarang harganya mahal. Mau pakai gas, susah juga nyarinya. Kalau pun ada, takut meledak.” “Itulah kebijakan JK (Jusuf Kalla).”
Obrolan itu diungkapkan oleh mantan anggota tim sukses Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Pemilu Presiden (Pilpres) 2004, Bahaudin Thonti, kepada Indonesia Monitor, Kamis (5/6) lalu. “Itu kejadian bener. Dia aparat aktif,” lanjutnya.
Thonti mengungkapkan hal itu untuk menggambarkan jika sejak dulu, jauh sebelum Pemilu Legislatif (Pilleg) 9 April 2009, SBY sudah menggerakkan orangorangnya di semua lini, termasuk di jaringan militer seperti Binmas dan Koramil, untuk bergerilya. “Dia menggerakkan mereka untuk mendiskreditkan JK dan mendorong SBY,” tuturnya.
Makanya, Thonti tak percaya ketika SBY menegaskan bahwa TNI harus di netral di pemilu, baik di pilleg maupun pilpres. Faktanya, menurut dia, SBY sudah menggerakkan mereka secara diam-diam. “Ada aparat aktif, ada juga yang mantan aparat. Ini dari pengakuan salah seorang anggota tim SBY. Dia menceritakan bahwa kerja mereka sudah lama, terstruktur, dan sistematik,” ujarnya.
Untuk membuktikan argumennya, Thonti mengungkit-ungkit masa lalu tim sukses SBY di Pilpres 2004, di mana dia menjadi salah satu bagiannya. “Saya ingin ingatkan, kita harus menengok ke belakang. Sudi Silalahi waktu itu sebagai Sesmenko Polkam, Mayjen Yasin belum pensiun waktu itu. Mereka juga jadi tim sukses. Kemudian Setia Purwaka, itu dulu masih aktif. Yang pasti, Kolonel Azis Ahmadi sampai sekarang masih di Mabes, dulu sekretaris SBY di Menko Polkam. Lalu Kurdi Mustofa, kolonel, setelah menjadi sespri naik menjadi Brigjen,” papar Thonti.
Beberapa nama yang disebut Thonti adalah militer aktif yang jadi anggota tim sukses SBY di Pilpres 2004 lalu. Makanya, dia meragukan komitmen SBY untuk membawa TNI ke barak di Pilpres 2009. “(Pilpres) Tahun 2004 saja tentara tidak netral, karena timnya sendiri berasal dari tentara yang masih aktif. Sekarang diulangi lagi. Waktu itu SBY belum berkuasa, tapi sekarang sudah berkuasa, apa saja bisa diperbuat,” tandasnya.
Kekhawatiran Thonti cukup beralasan. Sebab, menurut sumber Indonesia Monitor, tak sekadar merekrut militer aktif, SBY kabarnya juga menggelar operasi intelijen dan sosial politik (sospol) untuk mempertahankan kekuasaannya. “Ada sembilan purnawirawan jenderal sospol dan teritorial yang direkrut untuk tugas ini, termasuk di antaranya jenderal aktif,” ujar sumber yang juga mantan anggota tim sukses SBY di Pilpres 2004 ini.
Mereka, masih menurut sumber, antara lain mantan Kaster Letjen (Purn) Agus Widjoyo, mantan Aster Letjen (Purn) Sudi Silalahi, mantan Assospol Kassospol Mayjen (Purn) Mardiyanto, mantan Waassospol Kassospol Mayjen (Purn) Setia Purwaka (mantan Pjs Gubernur Jawa Timur), mantan Assospol Kassospol Brigjen Kurdi Mustofa (kini staf ahli presiden), mantan Waassospol Kassospol Marsekal (Purn) Herman Prayitno, dan mantan Deputi Menko Polkam Irjen Pol Alex Bambang Riatmodjo (kini Kapolda Jawa Tengah).
“Mereka akan menggunakan operasi sospol gaya Orba untuk memenangkan SBY. Kenapa Mendagri cuci tangan soal DPT, karena diduga ikut terlibat. Makanya, Wiranto dan Prabowo menuding kesalahan DPT sistemastis,” lanjut sumber.
Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat antara Komisi II DPR dengan KPU, Bawaslu, dan Mendagari, di Ruang Rapat Komisi II DPR, Senayan, Jakarta, Senin (4/5), Mendagri Mardiyanto menuding KPU sebagai pihak yang bertanggung jawab terkait DPT Pemilu 2009. Pihaknya mengaku sudah bekerja keras mempersiapkan DPS sebelum diserahkan kepada KPU sebagai pelaksana pemilu.
“Per-5 April 2008, DPS diberikan kepada KPU dan jajarannya. Sejak saat itu, pemutakhiran DPS menjadi DPT kewajiban KPU secara utuh,” elak Mardiyanto.
Menurut Thonti, di tim sukses JK-Wiranto dan Mega-Prabowo memang banyak juga purnawirawan jenderal. Namun, tidak ada satu pun di antara mereka yang masih aktif. Makanya, ia mempertanyakan jika benar ada militer aktif di jajaran tim sukses SBY, baik yang resmi maupun tim bayang-bayang yang menggerakan operasi sospol.
Thonti curiga, SBY tengah menerapkan ilmu Soeharto dalam melanggengkan kekuasaan, yakni dengan mengombinasikan jaringan ABG-nya Soeharto, yakni ABRI, Birokrat, dan Golkar. Dengan tiga jalur itu, Soeharto berhasil mempertahankan kekuasaan hingga tiga dasa warsa. “Saya kira SBY tidak hanya menjiplak, tapi ingin menerapkan ilmu Pak Harto yang dikombinasikan dengan ilmu dia,” tuturnya.
Operasi sospol gaya Soeharto, menurut Thonti, cukup efektif, mulai dari membentuk opini publik, penggalangan massa, hingga turun ke tataran taktis. Untuk membuat opini, hal yang pernah dilakukan tim sukses SBY di Pilpres 2004 adalah membuat sisilsilah keturunan SBY agar seolah-olah “berdarah biru”.
“Saya merasa berdosa, ketika kampanye 2004 saya maksa-maksain bikin silsilah bahwa SBY merupakan keturunan Majapahit dan Mataram. Silsilah itu dibuat-buat akhirnya ketemu bahwa SBY merupakan keturunan antara Majapahit dan Mataram. Saya menyesal karena rekayasa dan saya telah membohongi rakyat,” ungkapnya.
Mantan Direktur Bakin (kini BIN) Dr AC Manullang menuturkan, operasi intelijen di zaman Soeharto ada dua cara, yakni operasi strategis (strategic operation) dan operasi taktis. Taktik-taktik itu bisa berubah 24 kali dalam 24 jam, tapi sasaran dari strategi itu tidak akan berubah.
“Saya mulai tahu bagaimana caranya Soeharto selalu memenangkan pertarungan kekuasaan melalui strategi intelijen. Dia menggunakan operasi intelijen dengan tiga cara, yakni penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan. Tugas penggalangan ini adalah mengarahkan target agar tetap mempertahankan Soeharto dalam posisi presiden,” papar AC Manullang kepada Indonesia Monitor, Kamis (4/6).
Apa yang dilakukan SBY saat ini, kata Manullang, sebenarnya bisa mencerminkan apa yang pernah dibuat oleh intelijen di masa lalu itu. Hanya saja, operasi sekarang ini tidak melakukan gaya-gaya intelijen model lama seperti penetrasi (melakukan tekanan), infiltrasi (penyusupan), spionase (mata-mata), dan sabotase (teror).
“Sekarang menggunakan operasi penyesatan untuk mencapai sasaran dan targetnya. Itu semua dilakukan agar dia bisa menang lagi. Cara-cara SBY untuk memenangkan pilpres ini juga memakai strategi Soeharto tapi SBY tidak hanya menggunakan metode yang konvensional, tapi sudah lebih maju dan lebih canggih lagi karena dipengaruhi oleh intelijen asing,” paparnya.
Indikasi yang paling mencolok, menurut Manullang, adalah melonjaknya perolehan suara Partai Demokrat di Pilleg 2009. Menurutnya, itu merupakan hasil kerja intelijen yang canggih. Sebagai pengendali operasi, kata dia, dilakukan oleh mantan Panglima TNI Marsekal (Purn) Djoko Suyanto yang di tim sukses SBY sebagai Komandan Tim Echo.
“Echo itu memakai jaringan intelijen yang bergerak di luar institusi resmi TNI. Jadi, SBY tidak menggunakan BIN atau TNI secara formal. Maka, perang intelijen itu dikhawatirkan bakal menyeret BIN dan TNI untuk memenangkan capres tertentu,” ujarnya.
Bahkan, lanjut dia, intelijen Amerika belakangan ini sudah terlalu jauh campur tangan mengurusi agenda pilpres untuk memenangkan pasangan SBY-Boediono. Mereka sudah terjun ke lapangan mempengaruhi institusi formal dan nonformal. Mereka berupaya menarik TNI untuk mendukung pasangan incumbent.
Ketua DPP Partai Demokrat Bidang Politik Anas Urbaningrum menanggapi dengan enteng tudingan bahwa SBY mengadopsi operasi sospol gaya Soeharto. “Loh, tidak apa-apa toh? Apa ada pelanggaran hukum?,” ujar Anas Urbaningrum kepada Indonesia Monitor, Selasa (2/6). “Semua capres kan ingin menang. Kita juga ingin menang,” tandasnya.
■ Sri Widodo, Moh Anshari
Komentar
Posting Komentar
SITUS POLITIK INDONESIA