Langsung ke konten utama

Mempertanyakan Moral dan Etika DPR?


Mempertanyakan Moral dan Etika DPR?
PERNYATAAN Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD tentang jual beli pasal di DPR masih menjadi polemik hingga saat ini.
Beberapa waktu lalu Mahfudmengungkapkan ada jual beli Pasal di DPR RI, praktik jual beli tersebut berkaitan dengan kepentingan pihak-pihak tertentu yang merasa dirugikan atau terancam dengan keadaan pasal-pasal tersebut. Agar pasal-pasal tidak merugikan dan mengancam kepentingan perusahaan atau isntitusi tertentu, mereka meminta kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk menghapus atau mengubah pasal dengan berbagai iming-iming.
Ketua DPR Marzuki Ali menanggapinya secara emosional dan meminta Mahfud untuk tidak asal bicara. Mahfud menyatakan heran dirinya diminta menunjukkan bukti, yakni bukti adanya jual beli pasal di DPR. Sejumlah pihak pun menuding Mahfud sedang mencari sensasi. Jual beli pasal tidak sama dengan jual beli cabai di pasar. Pelaku bertransaksi dengan sangat canggih sehingga tidak ada bukti terjadinya transaksi. Ibarat kentut, kecium baunya tapi tidak tahu pelakunya karena sebuah praktik jual beli pasal tidak mudah dibuktikan, Gatra (19/11).
Namun publik percaya ada jual beli pasal di DPR, berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan oleh republika online lebih dari 95,43% pengunjung situs itu yakin dan sangat percaya dengan apa yang disampaikan oleh Mahfud MD. Perincian 72,61% publik sangat percaya dengan pernyataan Mahfud dan hanya 0,82% publik yang tidak percaya dengan pernyataan Mahfud. Kalau sebelumnya DPR dikritik oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai politikus pragmatis-hedonis dan suka hidup bermewah-mewah, kini giliran kritik itu datang dari Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud.
Jual Beli Pasal
Dalam teori memang dipahami bahwa produk legislasi adalah proses politik yang menurut William J Chambliss dan Roberts B Seidman: dimungkinkan munculnya tejanan berupa masukan yang akan memberikan warna. Prosesnya tidak lagi bisa dikatakan ilmiah lantaran kuatnya ”kompromi” untuk mengakomodasi kepentingan: pemilik kekuasaan, pemodal, atau kelompok penekan agar diberi tempat sehingga nilai-nilai substansial suatu produk UU akan jauh dari tujuan aslinya.
Kompromi politik ketika terjadi persengkongkolan antara elit (aktor DPR) dengan pengusaha (aktor ekonomi) membuka peluang jual beli pasal, akibatnya merusak dan menghancurkan sistem politik negara. Secara ideal proses legislasi mengambarkan aspirasi rakyat dan DPR selaku representasi rakyat harus memahami nilai-nilai yang hidup dimasyarakat. Itu semua dapat digali saat sosialisasi RUU. Namun realitasnya hanya melibatkan kelompok tertentu, paling benter kalangan perguruan tinggi, itupun sangat terbatas dengan alasan dana dan waktu yang sempit, Kompas, (22/11).
Sekadar mencontohkan, Mahfud menyinggung masalah jual-beli pasal di DPR. Ia memaparkan fakta, dari 406 perkara judicial review yang masuk ke MK, sebanyak 97 permohonan dikabulkan. Artinya, hampir 25% undang-undang yang dibuat DPR inkonstitusional. Yang memicu banyaknya pengujian undang-undang di MK itu. "Salah satunya, karena jual-beli pasal di DPR," termasuk untuk undang-undang yang dibuat berdasarkan hasil kompromi politik atau political trade-off.
Fakta jual beli pasal di DPR. Pertama adalah kasus mantan Gubernur Bank Indonesia (BI), Burhanuddin Abdullah, dan beberapa pejabat BI yang mengalirkan uang Rp 100 milyar ke DPR terkait dengan revisi UU BI. Fakta berikutnya adalah pengakuan mantan Menteri Agama, Said Agil Husin Al-Munawar, yang menyatakan bahwa uang Rp 1,5 milyar yang berasal dari dana abadi umat dibayarkan ke DPR untuk menggolkan UU Wakaf.
Adakah yang bisa dijadikan pembenaran atas kritik bahwa DPR melakukan jual beli pasal UU saat pembahasan. Selanjutnya adalah indikasi penghilangan ayat tentang tembakau dalan RUU kesehatan. Terbukti saat RUU itu diterima di sekretariat negara pada tanggal 28 September 2009, untuk disyahkan, salah satu ayat yang sebelumnya disepakati dengan pemerintah raib entah kemana.
Aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Indonesian Coruption Watch (ICW) Emerson Junto menilai pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD tentang dugaan jual beli pasal dalam pembahasan Undang-undang di DPR RI bukanlah sebuah omong kosong. Semua bisa dilihat dengan jelas. Kasusnya seperti ayat tembakau dalam UU Kesehatan, jual beli pasal itu adalah bisa memangkas atau menambah, selain itu indikasi jual beli pasal juga terlihat dalam UU MA, tentang batas usia maksimal Hakim Agung 70 tahun.

Penyebab Semua Ini
Tidak salah jika mantan Presiden RI, Gus Dur, mengatakan anggota DPR RI seperti taman kanak-kanak. Terlepas dari semua itu, agaknya sistem rekrutmen anggota DPR, baik di Kabupaten, Provinsi, apalagi DPR RI, harus ditata ulang. Selama, ini sistem perekrutan cenderung berbasis uang dan massa. Siapa yang punya uang banyak, dipastikan dapat mengumpulkan suara banyak, akhirnya lolos menjadi calon DPR. Walaupun proses pengumpulan pendukung tidak dilakukan secara proporsional dan profesional. Bahkan, cenderung menghalalkan segala cara, baik cara intimidasi, kekerasan, dan jual beli suara.
Kembali ke sistem rekrutmen anggota DPR. Dalam hal ini, hendaknya ada proses seleksi baik menyangkut kemampuan intelektual maupun emosi. Pendek kata, anggota DPR paling sedikit memiliki empat kompetensi, yaitu akademik, sosial, kepribadian, dan profesional. Untuk mengatasi itu semua, dibutuhkan penegakan hukum yang secara tegas dan memutus jaringan-jaringan kolusi serta etika dan moral yang kuat. Sekarang tidak perlu berteori, semua teori itu berdasar asumsinya sendiri-sendiri mesti bagus. Karena bagaimana pun kita mengatur politik hukum, kalau moral rusak akan ada saja akalnya.
Sungguh tauladan yang sangat menyakiti rasa keadilan masyarakat. Anggota DPR yang terhormat, semestinya menjadi tauladan bagi masyarakat dalam berpikir, berkata, dan berbuat. Begitu banyak perilaku menyimpang dipertontonkan oleh beliau-beliau yang terhormat, diantaranya perkelahian, tidur, bolos, dan debat kusir dalam sidang, bergelimang fasilitas, seperti rumah dan mobil mewah, sampai pada tindak korupsi berjamaah. Aduh, sungguh-sungguh menghancurkan rasa keadilan masyarakat. Semoga!
(Penulis adalah Peneliti di Indonesian Progressive Institute Jakarta Dan Mahasiswa Master Political Science University of Indonesia)
ditulis oleh: Pangi Syarwi - pada tanggal Senin, 28 November 2011 11:20 WIB

Komentar

Posting Komentar

SITUS POLITIK INDONESIA

Postingan populer dari blog ini

Siapakah Sesungguhnya Inisial EGM alias Elya G Muskitta...?

Sosok EGM atau Elya G Muskitta akhir-akhir ini disinyalir terkait dengan ramainya polemik seputar beredarnya berita video skandal seks yang melibtkan oknum DPR RI. Apa hubungan Elya G Muskitta dengan hebohnya berita soal video skandal seks oknum DPR ini..?Apakah Elya Punya Motif Politik…? 

Ingin Lebih Dekat Dengan Warga Binaan, Babinsa Koramil 0827/21 Ra'as Gelar Komsos

F- Untuk membangun konsep diri serta memupuk hubungan dengan orang lain diperlukan komunikasi sosial dengan anggota masyarakat. Demikian juga halnya untuk mempererat tali silaturahim dan kerja sama yang baik dalam rangka mendukung tugas pokok Babinsa serta terwujudnya Kemanunggalan TNI dengan rakyat. Babinsa Koramil 0827/21 Ra'as Kopka Edy Purnomo secara rutin dan berkesinambungan melaksanakan Komunikasi Sosial (Komsos) dengan warga masyarakat wilayah binaan, di Dusun Tengah Desa Guwa Guwa Kecamatan Ra'as Kabupaten Sumenep. Jum'at (24-5-2019). Pelaksanaan komunikasi sosial ini merupakan tugas rutin yang dilaksanakan oleh Babinsa untuk mengetahui perkembangan situasi wilayah binaan sekaligus untuk mempererat hubungan antara Babinsa dengan warga binaan. Komunikasi sosial merupakan salah satu metode Binter TNI AD yang dapat dilaksanakan secara teratur untuk mencapai tujuan komunikasi sosial sesuai dengan yang diharapkan. Melalui komunikasi ini, Babinsa harus dapat memp

Di Madura, Kiyai Poros Tengah Minta NU Netral

SITUSPOLITIK, SUMENEP- Fungsionaris Forum Kiyai Poros Tengah (FKPT) Sumenep meminta ormas Nahdlatul Ulama ( NU) tetap menjaga netralitas dan sebaiknya lebih bagus mengurus tugas utamanya seperti mengurus pesantren, umat dan dakwah.